cegah penuaan sindonews- Dicalonkan Mahasiswa Jadi Presiden, Tiap Hari Diburu Wartawan- KEGUNCANGAN politik itu bermula dari petisi dua mahasiswa. Yakni, Dipo Alam dan Bambang Sulistomo. Dipo bekas Ketua DM UI, seorang mahasiswa kimia FIPIA-UI tinggal nyusun skripsi.
Sedangkan Sulistomo anak pejuang pahlawan nasional Bung Tomo yang juga mahasiswa politik UI tingkat akhir. Sulistomo pernah ditahan terkait kasus Malari. Keduanya, saat itu berusia 27 tahun.
Keduanya, secara terbuka membuat petisi di hadapan pers bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM). Isi petisi, mereka berdua mengajukan Ali Sadikin untuk diikutisertakan dalam pemilihan presiden dan wapres pada SU MPR tahun 1978. Lalu mereka mengirim petisi kepada Pimpinan MPR, DPR, DPRD DKI Jaya, Kaskomkamtib, pimpinan parpol, Golkar, ABRI dan LBH Jakarta.
Tak ayal aksi kedua pemuda menimbulkan keguncangan politik Jakarta. Tapi buru-buru mereka menjelaskan, tidak ada siapa-siapa di balik aksi mereka. Itu semata dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka terhadap kelangsungan kehidupan kenegaraan yang demokratis.
“Presiden Soeharto bukan tidak berhasil. Justru keberhasilan Soeharto itu harus digalakkan. Dan, percepatan pembangunan memerlukan orang seperti Ali Sadikin,” kata mereka
unsur human trafficking kasus gatot brajamusti
Tak hanya Jakarta guncang. Ali Sadikin pun kaget sekaligus menyulitkan posisinya sebagai Gubernur Jakarta. Sebab, saat itu Presiden Soeharto begitu berkuasa dan tidak menghendaki ada tokoh yang menandingi. Padahal, Bang Ali sebelumnya tidak mengenal kedua pemuda itu. Bahkan ditanya pun tidak oleh Dipo dan Sulistomo.
Tak ayal wartawan pun mengejar-ngejar Bang Ali. Dengan hati-hati Bang Ali menjawab setiap pertanyaan wartawan. Apa reaksi Bapak terhadap petisi tadi? “Itu urusan mereka. Dan, itu adalah hak mereka berbicara sebagai warga negara yang ingin menyatakan pendapatnya sendiri. Kebetulan nama saya yang dibawa-bawa. Tetapi bisa kejadian itu menyebut nama orang lain,” jelas Bang Ali.
“Apa ada UU yang melarang orang menyatakan pendapat. Toh, prosedurenya ada di MPR,” tambah Bang Ali. Yang penting lanjut Bang Ali, bukan nama yang dicalonkan tapi, maknanya. Kebetulan saja nama saya disebut. Bisa juga nama Ali Murtopo, atau Idham Cholid, atau Usep yang mereka ajukan.
Dipo dan Bambang lanjut Bang Ali, sebagai orang muda di matanya, berani menyatakan pendapat. Lain dibandingkan tokoh tua karena masih terikat feodalisme. Sedangkan kita ingin menghancurkan feodalisme dan kolonialisme.
Hendaknya diingat sebelumnya, Ali Murtopo dan Amir Murtono telah mengemukakan pendapat bahwa mereka mencalonkan Jendral Soeharto dan Hamengku Buwono IX sebagai Presiden dan Wapres.
“Apakah Bang Ali bersedia dicalonkan,” desak wartawan. “Saya tidak peduli dengan omongan orang lain. Soal Presiden dan wapres mendatang, itu urusan MPR,” kata Bang Ali.
“Kalau MPR mencalonkan Bang Ali,” pancing wartawan Tempo. “Saya kan tak punya backing. Lagi pula ini bukan Amerika. Dimana orang bisa menyatakan keinginannya sendiri untuk jadi presiden,” jawab Bang Ali.
Petisi Dipo dan Bambang mendapat dukungan dari mahasiswa dan tokoh politik. Diantaranya, Soeparwan Parikesit, Muhammad Bade, Zulvan, Sjamsudin Hamza, Eko dll. Bahkan mereka menyandingkan Bang Ali dengan Adnan Buyung Nasution karena dianggap mewakili representasi militer-sipil. Akibat pernyataan itu Soeparwan dkk diperiksa, sampai ditahan polisi dan Kodam Jaya. Meski akhirnya dilepas kembali.
Sampai lah Bang Ali harus mengakhiri jabatan Gubernur yang diembannya dua periode. Banyak warga yang menghendaki Bang Ali jadi Gubernur DKI Jaya kali ketiga. Tapi, UU tidak memungkinkan karena jabatan gubernur dibatasi dua periode.
Tapi, Bang Ali banyak dipuji karena berhasil membangun Jakarta. Dari kampung besar yang kumuh, jorok menjadi kota metropolitan sekelas Manila, Bangkok dan kota besar lainnya.
Salah satunya tulisan John Saar wartawan majalah Amerika ‘Life’ yang memuji keberhasiln Bang Ali membangun Jakarta meski dengan cara diktaktorial meski dengan penuh perikemanusiaan.
Harus dimaklumi mengapa Bang Ali harus pakai cara keras ala militer untuk mendisiplinkan 30 ribu pegawai kotapraja, kadang mencaci maki, kadang menampar di pertemuan tertutup. Pegawai pun takut kepada sosok Bang Ali.
Ditulis ‘Life’, dalam enam bulan pertama jadi gubernur, bobot tubuh Bang Ali melorot 15 pon. Selain kurang tidur, Bang Ali setiap hari blusukan atau menjelajah sendiri, incognito, siang malam pelosok Jakarta. Kena hujan, terik matahari. Menemui warga pinggir jalan, penghuni liar, gelandangan.
Bang Ali juga merasa terhina dengan banyaknya warga mandi, cuci pakaian, cuci mulut di sungai. Dengan blusukan, Bang Ali tahu dan merasakan betapa susahnya rakyat. Sekaligus tahu apa yang mereka inginkan dari pemimpinnya.
Makanya, Bang Ali tak peduli disebut ‘Gubernur Judi’, Gubernur Maksiat, Gubernur Lotto hanya karena Bang Ali melegalkan judi. Hasil pajaknya, dipakai membangun ribuan sekolah, puskesmas, perbaikan kampung, membangun MCK dan sarana kebutuhan rakyat kecil lainya.
“Kalau tidak mau dikritik ya jangan jadi pejabat. Wartawan itu saya anggap pegawai saya yang tidak dibayar. Mengapa? Karena meeka memberi masukan atau kritik kepada pemda yang tidak bisa dilakukan karyawan saya,’ aku Bang Ali.
Bang Ali meski bicaranya ceplas, ceplos. Bahkan tak segan menyatakan wartawan goblok, atau sontoloyo sambil matanya mendelik dan menuding-nuding jika ada wartawan yang pertanyaan dianggap ngawur atau tak paham paham saat dijelaskan.
Namun wartawan tidak pernah tersinggung bahkan setelah itu diakhiri tawa bersama. Bang Ali dimana pun selalu jadi sumber berita menari bagi pers meski sudah menjabat lagi. Bawaannya yang enak, akrab membuat wartawan cukup dekat. Meski kalau bertanya harus dengan suara keras karena pendengaranya sedikit berkurang.
Tak heran begitu Bang Ali akan berhenti jadi Gubernur DKI Jaya banyak warga yang menangis. Dalam buku Menggusur dan Membangun yang diterbitkan Yayasan Idayu menulis, “Tidak ada perpisahan begitu dramatis dan mendapat perhatian yang begitu luas seperti pejabat Gubernur Ali Sadikin dari masyarakat Jakarta. Berminggu-mingu bahkan berbulan-bulan menjelang serah terima jabatan dari Bang Ali ke Tjokropranolo. Media seluruh Nusantara tiap hari penuh dengan berita dan komentar mengenai sosok Bang Ali. Mengenai masa depan Jakarta selanjutnya dan masyarakatnya. Seakan-akan yang berpisah bukan hanya Gubernur Jakarta saja, melainkan gubernur seluruh Indonesia,” tulisnya.
Bahkan berbulan-bulan sebelum Bang Ali serah terima atau lengser dari jabatannya aktivitasnya luar biasa padat. Baik peresmian proyek, menghadiri undangan perpisahan berbagai kelompok dan golongan. Seakan semua organisasi maupun masyarakat berlomba lomba mengundang Bang Ali untuk terakhir kali bertemu.
Bahkan saat temu pisah dengan karyawan DKI di Istora Senayan yang berkapasitas 10 ribu disesaki 15 ribu pegawai DKI. Akibatnya, mereka harus duduk di lantai.
Puncaknya, saat serah terima di kantor Gubernur ratusan ribu warga tumplek blek. Tak hanya warga Jakarta, ada dari Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Solo dan kota besar lainnya. Semua ingin melepas langsung Bang Ali dan kalau bisa bersalaman.
Keramaian dan kemeriahan pada hari-hari Bang Ali meletakan jabatan menurut koran dan majalah saat itu, hanya bisa disamai saat Bung Karno-Bung Hatta berpidato di lapangan IKADA, atau Monas sekarang pada 19 September 1945. Dimana Soekarno ingin menunjukkan kepada Jepang bahwa yang berkuasa adalah Indonesia. Saat itu ratusan ribu massa hadir di lapangan IKADA mendukung Bung Karno.
Bang Ali sudah mendarmabaktikan hidupnya kepada bangsa dan Negara dengan melayani masyarakat. Setelah tak lagi jadi gubernur, Bang Ali ingin tetap berjuang di tengah masyarakat.
Makanya, begitu empat bulan menjelang pergantian sempat Mendagri saat itu Ami Machmud bertanya pada Bang Ali dengan bahasa Sunda. “Paratas kieu, bade ke mana? (Sesudah begini, mau kemana?” tanya Amir Machmud.
Bang Ali menjawab,”Saya mau terjun ke masyarakat,”.